Gempa bumi yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat kemarin telah merusak banyak rumah penduduk. Peristiwa ini patut dijadikan pelajaran sekaligus pengingat bagi masyarakat dan pemerintah soal pentingnya konstruksi hunian tahan gempa. Terutama bangunan rumah penduduk yang terletak di perkotaan, serta hunian yang didirikan oleh pengembang.
Arief Sabaruddin selaku Ahli/Pengamat Rumah Tahan Gempa menyampaikan, bangunan yang didirikan di Indonesia, baik gedung maupun rumah memang harus tahan gempa.
Sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung. Pasalnya, Indonesia dilalui oleh ring of fire sehingga berisiko gempa tinggi. Gempa pun bisa datang kapanpun secara tiba-tiba.
“Kita tidak tahu kapan gempa besar akan datang, untuk itu rumah harus dirancang tahan gempa dengan memperhatikan spesifikasi bahan bangunan yang digunakan harus sesuai dengan SNI juga detailing konstruksi dipastikan sesuai dengan tata cara,” ungkap Arief kepada Kompas.com, Selasa (22/11/2022).
Menurut Arief, rumah yang tahan gempa adalah rumah yang setiap komponen bangunannya terikat satu sama lain, pondasi terikat dengan sloof, sloof terikat dengan kolom, kolom dengan balok. Lalu, dinding terikat dengan struktur, kusen juga terikat dengan dinding. Tak terkecuali kuda-kuda atap terikat dengan ring balok, hingga genteng juga terikat dengan reng. Semua mutlak dan dipastikan harus terikat.
Selain memberikan jaminan tahan gempa, keterikatan antar komponen ini akan lebih tahan angin. Pastikan pula bangunan tidak berada di kemiringan lereng 15 derajat yang memiliki potensi longsor. Pasalnya, longsor merupakan salah satu bahaya bagi bangunan.
“Penting membangun kesadaran kepada masyarakat di Indonesia akan pentingnya rumah tahan gempa, selain mengamakan keluarga juga bangunan tahan gempa akan memiliki durabilitas yang jauh lebih lama,” jelasnya.
Menurut Arief, seharusnya pengawasan penerapan konstruksi rumah tahan gempa bisa dilakukan lewat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau sekarang sudah berganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
“Harusnya kalau ada PBG akan ada jaminan tahan gempa. Karena untuk bangunan seperti itu bila mengajukan PBG akan diminta perhitungan strukturnya,” ujar Pria yang juga Pelopor Teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) itu.
Tak hanya itu, masih ada pengawasan dari Pemerintah Daerah (Pemda). Pasalnya, setelah PBG terdapat uji kelaikan sebelum dihuni melalui Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
“Kalau mekanisme pengawasan formal, hanya pengawasan dari pemda selain PBG juga setelah selesai harusnya ada uji kelaikan, sebelum dihuni harus diajukan SLF, sertifikat laik fungsi, dengan menyampaikan as built drawing,” paparnya.
Dengan kata lain, jika pengawasan tersebut dilaksanakan sesuai aturan, maka semestinya peristiwa rumah rusak akibat gempa seperti di Cianjur tak akan terjadi kembali.
“Pelaksanaan sesuai dengan dokumen perencanaan yang dibuat oleh tenaga ahli ber-SKA/SKKK. Pemerintah juga sudah menyiapkan desain prototipe, seperti dalam lampiran Permen PUPR No. 5 tahun 2016,” tandas Arief.
Disadur dari kompas.com
0 Comments