Jepang Makin Sat-set Soal Sektor Properti Tapi Gak Semuanya Mulus

Jepang makin agresif nih, soal investasi properti di Tanah Air. Baru-baru ini, Sumitomo Group, lewat Sumitomo Forestry Indonesia, nyepakat buat bangun hunian yang ramah lingkungan bareng Olympic Bangun Persada di OCBD Bogor.

Sumitomo jadi bagian dari Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang di bidang properti Indonesia. Dalam laporannya, mereka invest sekitar 79,3 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,218 triliun di Semester I-2023.

Nah, secara keseluruhan, data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) nunjukin kalo investasi dari Jepang mencapai 1,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 30,3 triliun.

Banyak banget alasan kenapa investor Jepang pada geser masuk pasar properti Indonesia. Salah satu alasannya kuat banget, Indo punya pasar gede banget berdasarkan populasi yang ada, sekitar 280 juta orang.

Seperti yang dibilang Senior Managing Executive Officer dari Sumitomo Forestry Co., Ltd., Atsushi Kawamura. Dia bilang, Indonesia itu negara penting banget dengan populasi ratusan juta, jadi kebutuhan rumah juga tinggi banget.

“Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang dipertahankan selalu positif sekitar 4-5 persen menjadi pertimbangan Sumitomo memperluas ekspansi usaha,” ungkap Kawamura, Rabu (13/9/2023).

Faktor-faktor lain yang jadi pertimbangan investor Jepang disamping growth positif di antaranya, menurut Hendra Hartono, CEO Leads Property Indonesia, adalah Indonesia terbukti sukses melewati krisis pandemi Covid-19.

“Kemudian cost of fund rendah. Jadi, daripada menyimpan cash di negaranya (Jepang), mereka cenderung investasi di negara yang masih ada pertumbuhan dan bisa mendapatkan capital gain pada masa pemulihan ekonomi di kemudian hari,” ungkap Hendra kepada Kompas.com, Rabu (13/9/2023).

Dalam bisnis properti di Indonesia, pengembang dari Negeri Sakura ini bawa teknologi top, bahan ramah lingkungan, skill keren, kerja keras, ketepatan, dan kualitas tinggi sebagai nilai yang mereka bawa.

Tapi, meskipun Jepang punya image bagus dengan nilai-nilai itu, ga semuanya berjalan mulus, khususnya buat proyek apartemen. Beberapa proyek bisa diliat jadi gagal, entah mangkrak di tengah jalan, konsep berubah dari strata jadi serviced, atau investor Jepang cabut gara-gara masalah lahan dan izin yang belum selesai.

Ini ada beberapa proyek apartemen yang masuk kriteria tadi: di Sentul City, Bogor, apartemen mewah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, apartemen menengah di Taman Permata Buana, Jakarta Barat, apartemen mewah di Gatot Subroto, Jakarta Pusat, apartemen menengah di Ciracas, Jakarta Timur, dan apartemen menengah di Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Emangnya penyebabnya apa?

Menurut Hendra, para investor Jepang ini terlalu percaya diri sama kemitraan strategis. Walaupun ini positif buat pengembang Indonesia yang jadi lebih bagus, tapi seringnya monitoring dan evaluasinya dilupakan.

“Mereka kalau sudah memegang kepalanya, langsung dilepas. Sehingga yang terjadi adalah gagal dibangun, mangkrak, dan hengkang. Berbeda dengan pengembang Singapura yang lebih mendetail dalam pengawasan,” tambah Hendra.

Nah, faktor lainnya tuh kurangnya riset pasar yang sebenernya penting banget buat ngebantu proyek properti. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, para investor Jepang sama mitra kerjanya ini bangun proyeknya tanpa pikirin kebutuhan pasar.

“Ibaratnya, mereka membangun hanya berdasarkan keinginan untuk menambah portofolio. Bukan membangun proyek yang memang bentul-betul dibutuhkan pasar,” cetusnya.

Apalagi, mereka sering banget ngerilis proyeknya di momen yang kurang pas. Menurut Hendra, rata-rata proyek apartemen yang digarap sama investor Jepang dan teman-temannya ini dirilis waktu pasar lagi oversupply alias kelebihan pasokan.

“Konyolnya lagi, ada apartemen yang diluncurkan pada saat pandemi Covid-19. Harganya sama atau bahkan lebih mahal ketimbang rumah landed. Ini kan sangat tidak realistis, dan pasti gagal. Orang Indonesia lebih memilih beli rumah-lah, ada tanah, dan juga Sertifikat Hak Milik (SHM),” papar Hendra.

Di atas semua itu, Hendra menilai, membangun properti gak segampang yang dibayangkan. Meski investor Jepang udah bawa teknologi, dana segudang, dan skill. Pembacaan yang tepat terhadap dinamika pasar itu krusial. Maka dari itu, “Do the research properly,” tuntasnya.

Disadur dari kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *