Kehancuran pasar properti di China lagi mengintai. Masalah keuangan di bidang real estate di Negeri Tirai Bambu itu semakin nyata banget setelah beberapa pengembang dilaporkan kekurangan dana sampai US$553 miliar atau sekitar Rp8.889 triliun (kurs Rp16.074).
Menurut laporan dari Bloomberg, kekurangan dana ini pertama kali disorot sama Goldman Sachs Group Inc. Malah, bantuan kredit yang udah digelontorin sama lembaga keuangan China sampe 469 miliar yuan atau Rp1.041 triliun di akhir Maret 2024 kayaknya nggak cukup buat ngejaga pasar properti China tetep eksis.
“Tampaknya [bantuan kredit yang diberikan] jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan untuk mengamankan penyelesaian rumah,” tulis para analis Goldman Sachs yang dipimpin oleh Lisheng Wang, dilansir Senin (15/4/2024).
Di laporan itu dijelasin, banyak variabel penelitian nunjukin kalo industri properti di China lagi jelek-jeleknya dan pendanaan buat pengembangnya lagi labil banget. Plusnya, pemerintah setempat juga kayaknya agak terbatas gerakannya. Soalnya, kebijakan yang dikasih kelonggaran tahun ini dibilang lebih minim dibandingin sama tahun-tahun sebelumnya.
“Untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah perlu meningkatkan kondisi pendanaan kepada para pengembang dan diharapkan mampu merangsang peningkatan permintaan perumahan untuk kembali ke tingkat normal,” ungkap analis Goldman Sachs.
Seperti yang diketahui saat ini, China masih punya kelebihan stok rumah, terutama di kotakota kecil. Berdasarkan asumsi bahwa pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan negara bisa beli stok itu dengan harga 50% dari harga pasaran, untuk turunin stok sampe level tahun 2018, butuh 7,7 triliun yuan atau sekitar Rp17.096 triliun.
Nah, rencana negara ini adalah naikin lagi porsi rumah publik jadi minimal 30% dari total stok rumah di China dari sekitar 5% sekarang.
Sementara itu, menurut laporan Wall Street Journal, kalo cuma ngeliat kota-kota besar, yang dikenal juga sebagai kota-kota level 1 dan 2, biayanya bakal nyampe 4 triliun sampe 6 triliun yuan, atau sekitar Rp8.881 triliun sampe Rp13.321 triliun.
Disadur dari bisnis.com