Setelah sempat bikin publik rame, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait alias Ara resmi membatalkan rencana buat ngecilin ukuran rumah subsidi jadi 18 meter persegi.

Dalam rapat kerja bareng Komisi V DPR (10/7/2025), Ara minta maaf dan ngaku ide itu mungkin belum matang. Katanya, niat awalnya pengin bantu anak muda punya rumah di kota, tapi karena tanah mahal, jadi muncul ide ngecilin bangunan. Tapi setelah denger banyak masukan, termasuk dari DPR, dia memutuskan buat mundur dan cabut usulan itu.

Rencana awalnya, Kementerian PKP mau bikin aturan baru yang nurunin batas minimal rumah subsidi, dari sebelumnya luas tanah 60 m² dan bangunan 21 m² jadi cuma 25 m² tanah dan 18 m² bangunan. Walau ukuran maksimalnya tetap (tanah 200 m² dan bangunan 36 m²), rencana ini langsung dapet kritik keras dari berbagai pihak.

Wamen PKP Fahri Hamzah jadi salah satu yang paling vokal nolak. Dia bilang aturan itu nabrak UU Nomor 1 Tahun 2011, yang ngatur standar luas minimum rumah layak huni. Menurut dia, rumah 18 meter persegi gak manusiawi, apalagi buat keluarga. Luas segitu bahkan lebih kecil dari standar kebutuhan ruang per orang (7,2 m²). Kalau rumah sekecil itu masuk skema subsidi atau social housing yang didanai negara, jelas gak sesuai aturan.

Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Georgius Budi Yulianto alias Boegar, juga gak setuju. Dia bilang rumah sekecil itu emang bisa jadi tempat tinggal secara teknis, tapi dari sisi kualitas hidup, itu jauh dari ideal. Standar ruang gerak manusia di kota aja rata-rata 4,5 m² per orang, apalagi kalau rumah itu dihuni lebih dari satu orang. Rumah kayak gitu bakal bikin penghuninya cuma “bertahan hidup”, bukan tumbuh dan berkembang.

Lebih parah lagi, rumah sempit bisa ngurangin kualitas hubungan sosial dalam keluarga. Kalau udah sesak dan gak ada ruang gerak, bisa bikin tegang dan jadi sumber konflik. Dari sudut pandang arsitektur kota, model rumah super kecil malah bisa jadi beban sosial baru. Alih-alih ngurangin masalah hunian, malah bikin siklus kemiskinan baru—yakni miskin ruang dan kualitas hidup.

Sekarang, setelah Ara resmi batalkan ide ini, rumah subsidi tetap pakai standar ukuran yang lama. Meski begitu, polemik ini jadi pengingat pentingnya ngerancang kebijakan hunian yang gak cuma murah, tapi juga layak dan manusiawi.

Disadur dari kompas.com


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× #WAAjaDulu