Kalau lagi main ke Pantai Parangkusumo, jangan cuma nikmatin ombak sama gumuk pasirnya aja. Di sisi utara pantai ini ada tempat yang keramat banget namanya Cepuri Parangkusumo. Lokasinya ada di Dukuh Mancingan, Parangtritis, Bantul. Tempat ini berupa pagar putih yang di dalamnya ada dua batu besar yang dikenal sebagai Watu Gilang.

Batu pertama namanya Selo Ageng, ukurannya lumayan gede, sekitar 180 x 210 cm. Batu kedua lebih kecil, disebut Selo Sengker. Menurut cerita, dua batu ini jadi tempat duduknya Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul. Makanya, tempat ini punya nilai sejarah sekaligus mistis. Tahun 1991, Dinas Pariwisata DIY bikin pagar keliling lengkap dengan gapura biar lebih tertata. Sekarang Cepuri Parangkusumo udah resmi jadi cagar budaya milik Keraton Yogyakarta.

Dari sisi sejarah, tempat ini erat banget sama berdirinya Mataram Islam. Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, dulu Panembahan Senopati semedi di pantai selatan buat minta petunjuk Tuhan. Nah, dari situlah muncul cerita kalau beliau bertemu Ratu Kidul. Batu Selo Ageng dan Selo Sengker jadi simbol adanya “perjanjian” atau kesepakatan antara raja-raja Mataram sama Ratu Kidul demi kelangsungan keraton.

Karena itulah, setiap tahun Keraton Yogyakarta ngadain Upacara Labuhan Parangkusumo di sini. Upacara ini termasuk Hajad Dalem, biasanya digelar pas peringatan penobatan Sultan, tepatnya tanggal 30 Rajab menurut kalender Jawa. Kata “labuhan” sendiri berarti larung atau buang sesuatu ke laut.

Tradisi ini udah ada sejak zaman Panembahan Senopati, katanya sebagai bentuk persembahan ke Ratu Kidul. Meskipun Mataram pecah jadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, tradisi labuhan tetap dilanjutkan sampai sekarang.

Dalam upacara labuhan, sesaji yang dilarung biasanya disiapin bareng-bareng oleh dapur timur (Sakalanggen) dan dapur barat (Gebulen) Keraton. Isinya macam-macam, mulai dari makanan simbolis kayak sanggan, pala gumantung, pala kependhem, sampai benda pribadi Sultan. Ada juga potongan kuku, rambut, pakaian bekas, bahkan payung keraton yang udah dipakai setahun penuh. Selain itu, bunga-bunga kering bekas sesaji pusaka juga ikut dilarung. Semua itu dimaknai sebagai wujud syukur ke Tuhan sekaligus harmoni dengan alam.

Sampai sekarang, Cepuri Parangkusumo masih sering jadi tujuan ziarah, terutama pas malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Buat sebagian orang, tempat ini bukan cuma bersejarah, tapi juga jadi titik penting yang nyambungin antara budaya, spiritualitas, dan kehidupan masyarakat Jogja.

Disadur dari kompas.com


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× #WAAjaDulu