Mahkamah Konstitusi (MK) resmi ngabulin gugatan uji materi soal UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024, MK nyatakan aturan iuran wajib Tapera yang 2-3 persen dari gaji itu inkonstitusional. Menurut MK, hak atas rumah layak memang dijamin UUD 1945, tapi nggak boleh ngorbanin hak dasar pekerja. Artinya, tabungan rumah harus sifatnya sukarela, bukan paksaan.

Putusan ini langsung disambut positif sama banyak pihak, khususnya buruh. Pasalnya, sebelumnya gaji mereka udah kepotong buat JKN, JHT, sama jaminan lain. Tapera dianggap cuma nambah beban tanpa manfaat nyata. Apalagi gaji rata-rata pekerja di kisaran Rp4–5 juta, potongan Tapera Rp60–90 ribu per bulan lumayan berat.

Kenapa Dibilang Adil?

Gugatan ini awalnya diajukan KSPI yang menilai Tapera tumpang tindih sama program BPJS Ketenagakerjaan. MK setuju, iuran itu bikin buruh makin tertekan di tengah biaya hidup naik terus. Putusan ini berlaku mulai Oktober 2025, jadi pekerja swasta udah nggak wajib lagi ikut Tapera. Walau begitu, PNS dan TNI/Polri tetap kena aturan beda.

Pengamat perumahan ITB, Muhammad Jehansyah Siregar, bilang ini bukan sekadar soal keringanan finansial, tapi pengakuan kalau sistem kita nggak adil. “Buruh bukan ATM berjalan,” katanya. Pemerintah harus fokus ke program yang manfaatnya kerasa langsung, bukan tabungan yang cair puluhan tahun lagi.

Masalahnya, backlog rumah nasional udah tembus 12,7 juta unit. Ironisnya, cuma 20 persen yang nyampe ke MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Tapera yang sejak 2018 ngumpulin Rp20 triliun pun minim hasil, karena cuma sebagian kecil disalurin buat KPR subsidi.

Belajar dari Singapura

Banyak yang bandingin Tapera sama Central Provident Fund (CPF) di Singapura. Padahal beda jauh. CPF memang potong gaji gede (37 persen), tapi rakyat rela karena ada sistem terpadu. Sejak 1960, dana CPF langsung disambung ke Housing and Development Board (HDB) buat bangun flat murah. Subsidi bisa nutup 80 persen DP dan cicilan, hasilnya 90 persen warga bisa punya rumah dalam 5 tahun kerja.

Di Indonesia, Tapera jalan sendiri, nggak nyambung sama Perumnas atau bank KPR khusus. Jadinya dana ngendap, rumah murah nggak jalan. Jehansyah nyindir, “Singapura kaya karena rumah dulu, bukan sebaliknya. Indonesia malah narik iuran di tengah gaji kecil, tanpa sistem jelas.”

Tapera Harus Dirombak

Tujuan Tapera sebenarnya mulia, yakni bantu MBR punya rumah. Tapi karena sistemnya nggak nyatu sama kebijakan perumahan nasional, jadinya gagal. BP Tapera pun akui bakal fokus ke skema sukarela, misalnya insentif pajak atau kemitraan swasta. Komisioner Heru Pudyo Nugroho bilang kalau Tapera harus jalan tanpa nambah beban rakyat.

Tapi banyak pengamat menilai langkah ini belum cukup. Tanpa UU baru yang integrasiin Tapera sama developer publik, risiko gagal total tetap ada. Apalagi kalau pekerja nggak dikasih insentif jelas, kemungkinan besar cuma 20 persen yang mau nabung.

Kesimpulan

Putusan MK ini jadi alarm merah buat pemerintah. Bukan sekadar stop iuran wajib, tapi tanda kalau Indonesia butuh sistem perumahan nasional yang bener-bener terpadu. Belajar dari Singapura, kuncinya ada di integrasi: tabungan, developer publik, dan regulasi yang nyambung. Kalau nggak, backlog jutaan rumah bakal jadi bom waktu sosial.

Disadur dari kompas.com


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× #WAAjaDulu