Kerap kali pembangunan infrastruktur berkaitan dengan agenda pengadaan tanah atau pembebasan lahan, terutama untuk infrastruktur berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN). Kementerian yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Kementerian ATR/BPN.
Embun Sari selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan (PTPP) menerangkan, dasar hukum terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Selain itu, terdapat juga aturan pelaksanaan hasil turunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Skema yang berlaku dalam agenda pengadaan tanah adalah skema ganti kerugian. Ganti kerugian dinilai oleh Penilai Publik (appraisal). Di mana merupakan nilai ketika pengumuman penetapan lokasi pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan pasal 69 pada PP Nomor 19 Tahun 2021.
“Ini merupakan nilai tunggal untuk bidang per bidang tanah bersifat final dan mengikat, yang artinya tidak dapat dimusyawarahkan sepanjang penilaian dilakukan berdasarkan standar penilaian yang berlaku,” papar Embun Sari dilansir dari laman Kementerian ATR/BPN Jumat (06/01/2023).
Embun Sari menjelaskan, seharusnya Nilai Ganti kerugian tidak lebih rendah ketimbang nilai pasar (market value). Pasalnya, penilaian dilakukan oleh appraisal yang secara independen dan profesional telah mendapat izin praktik penilaian dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
“Hal ini berbeda dengan jual beli, nilai transaksi ditentukan oleh para pihak, dan tidak semua nilai transaksi jual beli itu dapat dijadikan gambaran nilai pasar secara keseluruhan di lokasi tersebut,” jelasnya.
Maksud dari penetapan nilai ganti kerugian ini adalah untuk mendapatkan hasil yang objektif. Pasalnya, tiap orang memiliki penilai yang subjektif terhadap suatu objek tertentu.
“Bisa saja karena tanah tertentu dinilai seseorang memiliki misalnya nilai historis atau alasan lain sehingga mau membayar lebih tinggi dari harga pasar,” tambahnya.
Dengan begitu, berapapun nilai yang disebutkan oleh appraisal harus diterima sebagai nilai tunggal yang mencerminkan nilai pasar sebagai ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana UU pengadaan tanah.
“Kalau penilaian subjektif, misalkan transaksi jual beli di suatu lokasi di suatu daerah, ternyata nilainya sampai berkisar Rp 650 ribu sampai dengan Rp 1 juta per meter persegi, padahal baru saja pengadaan tanah untuk pembangunan di daerah lain tercatat hanya Rp 35 ribu sampai dengan Rp 77 ribu per meter,” tandasnya.
Disadur dari kompas.com