Persatuan perusahaan Realestat Indonesia (REI) mengaku telah menerima komitmen dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan selaku pembuat kebijakan terkait aturan harga rumah subsidi.
Hari Ganie selaku Wakil Ketua Umum REI menyampaikan pihaknya telah bertemu dengan BKF pada Kamis, (2/2/2023) lalu. Pertemuan tersebut mendiskusikan terkait penerbitan harga rumah baru.
“Harga baru keluar bulan Februari ini, update terakhir itu Kamis minggu lalu itu kami baru dipanggil oleh BKF departemen keuangan, membahas harga baru ini,” ujar Hari kepada Bisnis, Selasa (7/2/2023).
Sejak 3 tahun lalu, pengembang rumah subsidi terus menunggu penyesuaian harga rumah subsidi yang tak kunjung sesuai dengan kenaikan harga bahan bangunan serta kenaikan harga BBM.
Saat ini batasan harga rumah subsidi diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No. 242/KPTS/M/2020 pada Maret 2020.
Untuk bisa menerbitkan keputusan harga rumah baru, Kementerian PUPR masih menanti terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, terutama terkait dengan pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Jadi intinya akan segera diterbitkan harga barunya, cuma kenaikannya kelihatannya tidak seperti yang dulu kami perkirakan, kan katanya akan naik 7 persen dulu, tapi kelihatannya ini naiknya sekitar 5 persen,” terangnya.
Menurut Hari, pada awal tahun 2022 kemarin pengembang dan Kementerian PUPR telah sepakat dengan usulan kenaikan rumah subsidi sebesar 7%.
Angka tersebut sebenarnya masih berada di bawah usulan para pengembang, yakni 13%. Tetapi, angka 7% masih mending ketimbang tidak sama sekali.
“Kemungkinan karena keterbatasan anggaran ya pemerintah, dan pertimbangan lain mungkin ya, dari BKF sih sesegera mungkin katanya mereka gak bisa kasih waktu tepatnya,” paparnya.
Lebih lanjut, Hari melihat penyesuaian harga rumah subsidi ini adalah sebuah urgensi yang harus dipenuhi. Sebab, hal ini berkaitan dengan kesanggupan pengembang untuk membangun rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Hari pun mengaku tak ingin membuat pengembang rumah subsidi akhirnya harus mengurangi kualitas lantaran dililit ongkos produksi yang terlampau mahal dan tak bisa memberikan margin profit yang bagus.
“Itu sebenarnya kan itu tidak kita harapkan [penurunan kualitas], banyak pengembang-pengembang kalau saya keliling mereka selama ini memilih tidak bangun rumah MBR dulu karena tak ingin rugi,” ungkapnya.
Namun, sejumlah pengembang lainnya terpaksa menawarkan rumah subsidi dengan harga saat ini guna memenuhi kewajiban terhadap perbankan serta kewajiban untuk membayar karyawan.
Disadur dari bisnis.com