Beli hunian yang belum jadi memang lebih murah ketimbang yang sudah jadi, tapi tetap ada resiko besar yang menanti, seperti proyek mangkrak hingga refund mandek.
Lalu, kalau sudah terlanjur beli dan proyeknya mangkrak, kira-kira harus gimana ya?
Steve Sudijanto, seorang pengamat dan ahli properti menyampaikan, ketika Kamu sebagai konsumen sudah terlanjur beli dan ujung-ujungnya mangkrak, sebaiknya Kamu mengecek kembali kontrak perjanjian jual beli dan meminta pendapat konsultan hukum.
“Pada saat konsumen terlanjur membeli proyek mangkrak, sebaiknya melakukan tindakan preventif. Me-review kontrak perjanjian jual beli. Minta pendapat konsultan hukum. Saya rasa memperkecil resiko adalah tindakan paling utama,” ujarnya, ketika dihubungi detikcom, Rabu (22/2/2023).
Menurut blio, konsultan hukum merupakan sarana yang tepat untuk Kamu meminta saran dan masukan. Konsultan juga diharapkan sanggup menjalin komunikasi yang baik dengan pihak pengembang agar mendapatkan solusi yang tepat.
“Terburuknya apabila pengembang sudah wanprestasi atau default maka pihak pembeli bisa minta refund melalui konsultan hukum,” ungkap Steve.
Di sisi lain, Steve juga menekankan bahwa cara pembatalan pembelian secara refund ini harus berlandaskan pada perjanjian jual beli yang sebelumnya sudah diteken di depan notaris. Dalam kasus refund ini, biasanya ada sejumlah potongan seperti biaya admin.
“Semua tergantung itikad pihak Pengembang untuk memberikan solusi kepada pihak pembeli yang berniat membatalkan dengan ketentuan yang ada di perjanjian jual beli,” ungkap Steve.
Di lain pihak, Panangian Simanungkalit selaku Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) menyebutkan, satu-satunya opsi yang bisa ditempuh adalah dengan menjualnya.
“Kalau kita sudah kadung beli, nggak ada satu cerita lain kecuali jual,” ungkapnya, ketika dihubungi terpisah.
Panangian menilai, hal ini merupakan salah satu resiko dari membeli hunian yang sama sekali belum digarap oleh pihak pengembang alias hanya membeli gambar saja. Apalagi hukum di Indonesia masih kurang memberikan perlindungan kepada para konsumen sehingga belum dapat diandalkan.
“Karena hukum di Indonesia tidak melindungi kepentingan kamu sebagai pembeli. Jadi ketika membeli properti dengan gambar, ya wallahu a’lam. Artinya kamu harus yakin bener kalau pengembang ini untung. Untung yang dimaksud itu sukses proyeknya,” ungkap Panangian.
“Karena begitu dia rugi, nggak sukses penjualannya. Ya kamu pasti dikorbankan. Itulah resiko sebagai pembeli properti di atas gambar,” imbuhnya.
Panangian juga menyebut kasus Meikarta sebagai salah satu contoh kasus pengembang yang terjebak fenomena gaya hidup modern yang sempat nge-trend di 2015 silam yang bikin pengembang membangun banyak hunian vertikal. Di sisi lain masyarakat Indonesia pun tampaknya masih belum siap sepenuhnya untuk hidup di apartemen.
“Orang pindah ke pusat kota dan mencoba gaya hidup di apartemen, boomingnya pada 2015. Meikarta juga dibangun 2017. Mereka ini semua terjebak pada fenomena gaya hidup modern, sementara masyarakatnya kelihatannya belum siap,” ujarnya.
Akibatnya, jumlah permintaan pun tidak bisa menutupi jumlah stok unit yang tersedia sehingga para pengembang menjadi kesulitan dalam menyelesaikan proyek.
Menurut Panangian, dalam kejadian ini pengembang belum siap menangani apabila permintaan konsumen tidak sebanyak itu sehingga terjadilah oversupply.
“Developer secara serempak bangun apartemen bahkan bukan hanya di tengah kota seperti Jakarta. Tapi juga bangun di Bekasi, bankan Bogor, Serpong. Jadi kelirunya di situ, pengembang belum siap antisipasi kalau permintaannya belum sebesar itu. Meikarta juga sama. Dia terjebak karena membuat proyeksi ratusan ribu, eh ternyata,” jabarnya.
Oleh karena itu, menurut blio masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih hunian yang akan mereka beli. Agar lebih aman, blio menyarankan agar masyarakat membeli rumah yang sudah jadi dan lebih kritis dalam memilih pengembang.
Disadur dari detik.com