Kaum milenial masih berhadapan dengan tantangan-tantangan pembiayaan untuk kepemilikan rumah, terutama milenial golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Saat ini tantangan yang menjadi perhatian para pengembang ialah jebakan pinjol atau pinjaman online.
Menurut catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terdapat kurang lebih 81 juta generasi milenial di Indonesia yang masih belum punya rumah. Belum lagi dengan angka backlog rumah menyentuh angka 12,75 juta hunian.
Risma Gandhi selaku Ketua Umum Asosiasi Srikandi Developer dan Pengusaha Properti Indonesia (Srideppi) menyampaikan, saat ini tantangan yang menghambat milenial untuk dapat memiliki rumah adalah jebakan pinjol yang berimbas pada catatan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.
“Semenjak pandemi banyak regulasi yang menurut saya harus mengikuti masanya karena sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Salah satunya adalah mengenai SLIK OJK, yang tidak ada standar nilai nominal maupun jenis pinjamannya,” ucap Risma, dikutip Minggu (19/3/2023).
Menurut Risma, serapan rumah khusus untuk golongan MBR pada Januari-Februari tidak maksimal. Bukan karena tak ada permintaan, tetapi permintaannya sudah berguguran ketika verfikasi SLIK OJK.
Menurut laporan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) dari Bank Indonesia, pada triwulan IV/2022, tercatat pertumbuhan total nilai kredit KPR dan KPA secara triwulanan sebesar 7,79% (year-on-year/yoy), sedikit meningkat ketimbang pada triwulan sebelumnya yang sebesar 7,73% (yoy).
Sementara itu, penyaluran KPR dan KPA secara triwulanan tercatat sebesar 2,77% (yoy), melambat ketimbang 3,27% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Sedangkan untuk pencairan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada triwulan IV 2022 tercatat sebesar Rp8,033 triliun atau meningkat 250,93% (yoy), kembali tumbuh positif dari terkontraksi sebesar -10,02% pada triwulan sebelumnya.
Meski masih dalam tren positif, Risma tetap mendorong pemerintah untuk membuat cara baru, instrumen baru, juga regulasi baru untuk mengakomodir perubahan zaman. Hal ini perlu segera ditangani dengan kerja sama berbagai pihak termasuk developer, OJK, dan perbankan.
“Kalau menggunakan cara lama dipastikan KPR bersubsidi akan tumbang, karena tingkat kerentanan MBR milenial sangat rentan terhadap jebakan pinjaman online dan transaksi online kredit. Indikator kenapa kita harus mengasumsikan seperti itu, karena di 2022 FLPP tidak semua terserap,” kata Risma.
Menurutnya, OJK juga harus dapat memitigasi jeratan pinjol yang melanda kaum milenial. Belum lagi dengan adanya persoalan rumah bersubsidi yang sudah tepat sasaran atau belum.
Hal ini tentu bermaksud menjaga momentum pertumbuhan, di industri properti tentunya harus melihat apa yang harus diupayakan agar kondisi bisnis properti aman, terjaga, terkendali.
Para developer, lanjut Risma, akan mengalami kenaikan suku bunga, konsumen yang terhambat di SLIK OJK, serta harga rumah subsidi yang selama 3 tahun ini masih belum juga disesuaikan padahal biaya produksi rumah telah mengalami kenaikan signifikan.
Sejalan, Persatuan perusahaan Realestat Indonesia (REI) juga mengeluhkan maraknya penggunaan pinjol membuat kepemilikan rumah semakin sulit diakses oleh masyarakat.
Arvin F. Iskandar selaku Ketua DPD REI DKI Jakarta menerangkan, tak sedikit masyarakat yang kini terlilit utang pinjol. Ditambah lagi saat ini perpersyaratan pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) makin ketat ketimbang sebelum-sebelumnya.
“Banyak pengajuan KPR masyarakat ditolak. Kalau dulu, pengajuan KPR banyak ditolak karena credit card, sekarang pengajuan KPR banyak ditolak karena calon debitur terlilit utang pinjol,” ujar Arvin, beberapa waktu lalu.
Disadur dari bisnis.com