Pengembang/developer rumah subsidi mengaku semakin tercekik dengan harga jual rumah yang tak naik-naik selama 3,5 tahun terakhir. Janji manis pemerintah terkait kenaikan harga tak kunjung terwujud.  

Andi Atmoko Panggabean selaku Ketua Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (DPD REI) Sumatra Utara mengungkapkan, developer rumah bersubsidi yang berada di daerah didominasi oleh usaha kecil dan menengah (UMK). Kini nafas 99% UMK pengembang mulai menipis lantaran harga tak bisa dinaikkan.

“Kami pengembang-pengembang UMK dari seluruh Indonesia yang selama ini membantu pemerintah untuk membangun rumah subsidi mendesak pemerintah segera menetapkan kenaikan harga rumah bersubsidi. Kalau bisa April ini juga sudah naik,” ucap  Andi, dikutip Jumat (14/4/2023). 

Andi menilai, jika harga tidak kunjung naik, maka bisa dipastikan bakal menganggu ketahanan cashflow developer yang tetap berjuang bertahan selama 3,5 tahun termasuk di masa pandemi Covid-19.

Tak heran apabila saat ini developer rumah subsidi di seluruh Indonesia berharap-harap cemas menunggu janji pemerintah. Sebab, inflasi dalam 3,5 tahun terakhir sudah naik dua digit, serta harga material bangunan yang terus melambung.

“Faktanya setiap tahun ada inflasi dan kenaikan harga material. Di Kementerian PUPR setiap tahun rencana anggaran belanja (RAB) untuk berbagai proyek konstruksi dan infrastruktur di kementerian tersebut yang notabene dibiayai APBN itu selalu mengalami kenaikan. Pengembang rumah subsidi ini juga di bawah koordinasi PUPR, tapi kok beda perlakuan?” hentak  Andi. 

Developer tetap berupaya membangun dalam situasi sulit tersebut walaupun dengan margin yang tipis. REI ingin terus mempertahankan bisnis usahanya sekaligus membantu pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Andi memaparkan, pemerintah seharusnya menyadari bahwa ongkos produksi untuk memasok bahan dasar seperti besi, semen, dan bahan-bahannya lainnya yang melonjak drastis, mengingat pemerintah pun juga memiliki proyek konstruksi yang terus digalakkan. 

Namun, Andi mengaku heran pemerintah tak juga memberikan pehatian yang sama terhadap produksi rumah subsidi yang terancam akibat harga jual yang tak segera naik. Padahal, developer menggunakan modal sendiri untuk pembangunan dan bukan dibiayai negara

“Sungguh kami merasa diperlakukan tidak adil. Kami pengembang di daerah ini kadang merasa kok seperti anak tiri di Kementerian PUPR,” katanya.  

Lebih lanjut, Andi juga mengkritik pemerintah yang malah mendahulukan insentif fiskal untuk mobil listrik baru. Padahal, tak seperti halnya rumah, mobil bukan kebutuhan dasar. Andi berharap pemerintah tidak buta dan tuli untuk menanggapi berbagai tantangan perumahan rakyat. 

Senada, Ahyat Sarbini selaku Ketua Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (DPD REI) Kalimantan Selatan mengungkapkan, tanggungjawab menyediakan rumah bagi MBR adalah beban tugas negara, dalam hal ini adalah Kementerian PUPR. 

Ahyat menilai, amanat konstitusi tersebut seharusnya tidak pernah dilupakan pemerintah. Sedangkan, pengembang hanya membantu tugas tersebut.

“Patut juga dipertimbangkan bahwa sektor properti ini berkaitan dengan 174 industri ikutan di sektor riil. Kalau sekto ini stagnan, maka ekonomi terganggu. Sekarang banyak pengembang wait and see dan di bawah dilema karena menunggu harga naik dan itu pasti akan memengaruhi pasokan dan realisasi rumah MBR di tahun ini,” ungkapnya. 

Di samping itu, pengembang rumah subsidi di seluruh Indonesia juga memiliki karyawan dan tukang yang jumlahnya mencapai ratusan ribuan bahkan jutaan orang yang harus tetap memiliki pekerjaan. Ahyat meminta pemerintah untuk mempertimbangkan hal ini dengan adil dan realistis.

Roni H. Adali, Ketua Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (DPD REI) Banten juga turut menambahkan, alasan harmonisasi yang selalu disampaikan pemerintah berkaitan dengan keputusan kenaikan harga rumah subsidi tak realistis. 

Roni menilai, jika ada niat baik, seharusnya 1-2 minggu harmonisasi sudah selesai lantaran masalah ini tidak serumit membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu).

“Seharusnya pemerintah ada target waktu kapan ini selesai. Jadi tidak menunggu tanpa kejelasan seperti sekarang. Pengembang juga tidak merasa terus di PHP-in. Kami di perusahaan saja ada timeline pekerjaan, ini kok pemerintah tidak ada,” paparnya. 

Karena itulah, Roni berharap pemerintah menghilangkan semua ego sektoral terkait permasalahan yang dihadapi developer rumah subsidi ini.  Hal ini guna memastikan pasokan rumah rakyat tetap terpenuhi, termasuk dengan dukungan skema pembiayaan guna membantu keterjangkauan masyarakat. 

Disadur dari bisnis.com


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× #WAAjaDulu