Pada suatu hari ketika Kamu berjalan-jalan menyusuri kota atau pedesaan, Kamu melihat beberapa fasilitas umum seperti masjid, pemakaman, dan lain sebagainya yang semuanya berada di tanah wakaf. Mungkin muncul dibenakmu soal bisa tidaknya mengambil kembali tanah wakaf.
Misal, ketika orang tua yang mewakafkan tanahnya (Wakif) sudah meninggal, kemudian anaknya atau si ahli waris dengan alasan tertentu hendak mengambil kembali tanah tersebut dari penerima wakaf (Nazhir).
Lantas, bisa gak ya hal tersebut dilakukan?
Regulasi mengenai wakaf sebagaimana dikutip dari laman Badan Wakaf Indonesia (BWI), telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Seorang Wakif atau seseorang yang berwakaf berarti sudah melepaskan hak kepemilikan untuk keperluan ibadah maupun kepentingan umum lainnya. Dalam Pasal 3 juga telah disebutkan bahwa wakaf yang telah diikrarkan tak dapat dibatalkan.
Selain itu, ada juga larangan terhadap harta benda yang telah diwakafkan, tak terkecuali tanah wakaf. Hal itu termaktub dalam Pasal 40, meliputi:
- Dijadikan jaminan;
- Disita;
- Dihibahkan;
- Dijual;
- Diwariskan;
- Ditukar; atau
- Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun, tanah wakaf bisa dialihkan statusnya jika dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Salah satu contoh yang kerap terjadi ialah untuk pembangunan infrastruktur.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 41, ketentuan larangan dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR).
Selain itu tentunya juga harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tak bertentangan dengan syariah.
Pelaksanaannya pun hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Kendati demikian, tanah wakaf yang telah dialihkan statusnya tersebut tidak langsung bisa berpindah tangan begitu saja, tetap harus diganti dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Apabila ada seseorang yang dengan sengaja melanggar ketentuan di atas, maka bisa diancam pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 67. Yakni, barang siapa yang sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan, atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 500 juta.
Menurut regulasi yang sudah diterangkan di atas, berarti jelas bahwa ahli waris tidak diperbolehkan meminta kembali wakaf yang sudah diwakafkan orang tuanya.
Tetapi, jika ternyata terdapat permasalahan terkait tanah wakaf, dalam Pasal 62 menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika tak kunjung selesai, maka sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Disadur dari kompas.com