Lahan Makin Sempit, Begini Peluang Pengembangan Co-residence di Jakarta

Hunian co-residence atau yang juga dikenal dengan istilah co-housing (community housing atau collaborative housing) semakin marak di Jakarta. Tentunya tren ini memiliki peluang bisnis tersendiri.

Joko Adianto selaku Ketua Kelompok Ilmu Perumahan dan Permukiman Perkotaan Universitas Indonesia memaparkan, tren ini merupakan solusi dari tingginya harga lahan dan keterbatasan hunian di Jakarta. Dalam konteks ini, wujud co-residence berupa hunian vertikal dengan konsep multi-family housing.

“Co-residence berasal dari inisiatif dan hasil swadaya masyarakat, serta ketinggian bangunannya hanya sekitar 4 lantai,” ujar Joko dalam konferensi pers Jakarta Property Institute terkait Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence, dikutip Rabu (5/7/2023). 

Dengan kata lain, co-residences memang tak sama dengan tipe hunian vertikal lainnya, sebab inisiator pengembangan bisnisnya pun sudah berbeda. Saat ini umumnya hunian vertikal didirikan pengembang atau pemerintah yang berupa tower apartemen atau rumah susun dengan ketinggian di atas 15 lantai. 

Dia memerincikan, konsep hunian ini bisa mendukung suplai hunian terjangkau. Hal ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi DKI Jakarta (RPJMD) 2017-2022 yang menargetkan pembangunan 250.000 unit hunian layak dan terjangkau. 

Dalam simulasi, Joko mencontohkan di lahan dengan luas 360 hektare dengan per unitnya seluas 36 meter persegi. Dengan ukuran tersebut, maka paling tidak mampu menciptakan 280.000 unit hunian jika didirikan secara vertikal setinggi 4 lantai. 

Ide pengembangan co-residence ini berangkat dari data terakhir lahan perumahan di Jakarta, yaitu sebesar 320,6 km persegi dari total lahan sebesar 662,33 km persegi. Adapun, mayoritas atau 91% di antaranya dimanfaatkan untuk rumah tapak. 

Namun, Jakarta masih mempunyai backlog hunian sekitar 250.000 unit. Joko menilai, penyebab terjadinya backlog ini bukan oleh kurangnya suplai hunian, tetapi ketidaksesuaian antara jumlah suplai yang tersedia dengan kemampuan masyarakat. 

“Jadi bukan karena kurang rumah, tapi ada ketidaksesuaian supply dan demand yang dipicu kenaikan harga rumah dan daya beli yang tidak sesuai. Kita lihat ada peningkatan harga rumah, paling tinggi [kenaikannya] itu rumah keci,” ungkapnya. 

Penggunaan konsep hunian co-residence juga dianggap mampu menambah pendapatan daerah berupa pajak dan pendapatan lainnya melalui peningkatan konsumsi harian masyarakat. 

Hanya saja, aturan terkait tipe hunian ini masih minim, walaupun sudah terbantu oleh Peraturan Gubernur (Pergub) No. 31 Tahun 2022 Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

“Penataan ulang tata atur zonasi bersifat signifikan agar  dapat mengadaptasi tipe hunian co-residence,” terangnya. 

Sebab, konsep co-residence memerlukan penegasan regulasi bagi perumahan untuk keluarga jamak (multi-family housing) ke dalam tipe hunian yang nantinya diterjemahkan ke dalam peraturan zonasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.  

Selain itu, pengembangan hunian dengan tipe co-residence memerlukan penyesuaian pada aspek tata ruang, sekaligus aspek sosial, sistem kepemilikan termasuk sewa jangka panjang, pembiayaan dari perbankan, serta perizinan

Disadur dari bisnis.comĀ 



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *