Beberapa pengamat setuju kalau kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bikin berat para pekerja dan perlu dikaji ulang lagi pelaksanaannya. Ini gara-gara ada aturan baru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.

Pengamat pembiayaan perumahan, Erica Soeroto bilang kalau potongan 3 persen dari gaji pekerja buat iuran Tapera itu berat banget.

“Bahkan kalau soal Tapera, saya sudah ‘alergi’ sejak masih wacana,” ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (30/5/2024).

Menurut dia, Tapera yang dijalankan sama BP Tapera kayak cuma ngumpulin duit masyarakat lewat tabungan aja. Kalau mau pakai skema tabungan, pemerintah bisa aja maksimalin BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

“Kalau hanya mau menghimpun dana masyarakat melalui tabungan, suruh aja BPJS dipecah, yang satu buat kesehatan, yang satu buat tabungan masyarakat, dan tabungan itu sifatnya tidak memaksa, voluntary, boleh berapa aja, semakin banyak menabung semakin cepat dia dapat rumah,” terangnya.

Dengan begitu, ia menilai sebetulnya pemerintah gak perlu sampai bikin lembaga baru kayak BP Tapera yang konsepnya gak efisien.

“Sebab belum apa-apa, masyarakat belum dapat rumah, manajer investasi sudah dapat fee 3 persen, ini apa-apaan, mau meras rakyat?” ujarnya.

“Ini ngambil dari tabungan, belajar dari mana sih? Makin tidak efisien dan yang lucunya, ketidakefisienan itu berarti ada cost ya, cost itu siapa yang bayar? Ya rakyat, yang dipotong gajinya itu,” tambahnya.

Erica ngelanjutin, skema tabungan buat pembiayaan perumahan masih kalah efisien dibanding ngumpulin dana jangka panjang lewat pasar modal. Contohnya yang dilakukan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF). Tapi, dia bilang peran SMF kayak kurang didukung dan diperhatikan, makanya pemerintah malah bikin BP Tapera.

“Jadi ada yang lebih efisien. Mengambil dana dari pasar modal adalah yang paling efisien di dunia,” pungkasnya.

Pengamat dan praktisi hukum perumahan, Muhammad Joni bilang, perluasan kelompok sasaran Tapera dan potongan gaji 3 persen nunjukin ada gap antara ekosistem Tapera sama BPJS Ketenagakerjaan yang nggak diantisipasi dan disinkronisasi.

Soalnya, BPJS Ketenagakerjaan juga punya fasilitas Manfaat Layanan Tambahan (MLT) buat pembiayaan perumahan pekerja program Jaminan Hari Tua (JHT).

Jadi, adanya Tapera malah nambah potongan gaji yang harus dibayar pekerja dan sifatnya wajib. Apalagi kelompok sasarannya Tapera juga diperluas.

“Mustinya ada analisis ekosistem itu dan analisis beban biaya agar tidak memberatkan namun menguntungkan peserta,” ujar Joni kepada Kompas.com, Kamis (30/5/2024).

Selain itu, dia juga ngeritik nggak adanya anggaran pemerintah di dana Tapera. Soalnya, dana Tapera cuma dari pekerja dan pemberi kerja. Padahal, rumah itu kebutuhan dasar, hak dasar, HAM, dan hak konstitusional. Jadi, negara nggak boleh lepas tangan dari kewajibannya.

“Tapera harus goyong royong antara pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja. Jangan hanya pekerja dan pemberi kerja. Karena mandat UUD ada pada negara, terutama pemerintah Pasal 28H ayat 1 jo Pasal 28I ayat 4 UUD 45,” jelasnya.

Untuk itu, Joni meminta pemerintah buat mengharmonisasi ekosistem Tapera dan BPJS Ketenagakerjaan, serta transformasi tata kelola dan kelembagaan.

“Bicarakan dengan stakeholder secara partisipatif bermakna (meaningfull participation) yang berkeadilan, dan government must lead,” pungkasnya.

Disadur dari kompas.com

Leave A Reply