Beberapa tahun belakangan masyarakat dihebohkan dengan deretan kasus proyek hunian mangkrak. Sebut saja kasus Meikarta yang sejak 2017 tak kunjung selesai hingga detik ini. Kejadian ini pun menyingkap tabir bahwa di mata hukum konsumen itu lemah.
Panangian Simanungkalit, Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) menyampaikan, Meikarta bukan satu-satunya, banyak kasus yang terjadi hanya tidak terekspos saja ke publik lantaran skalanya lebih kecil.
Menurut Panangian, posisi konsumen, terutama dalam hal pembeli properti, lebih lemah di mata hukum ketimbang pengembang. Kecil kemungkinannya bagi seorang konsumen untuk dapat menang melawan pengembang.
“Posisi hukum antara pengembang dengan konsumen tidak diatur sedemikian di Indonesia. Sehingga kalau membeli properti dengan gambar (belum jadi), udah nggak mungkin menang. Karena hukumnya tidak melindungi kepentingan kamu sebagai pembeli,” ungkapnya, ketika dihubungi detik.com Rabu (22/2/2023).
Menurut Panangian, ada undang-undang yang khusus menangani perihal eksekusi perumahan. Hanya saja saat ini pengawasannya terbilang kurang.
Terlepas dari kondisi ini, Panangian menyebutkan beberapa hal yang diperlukan konsumen agar dapat meminimalisir resiko terjebak pada proyek mangkrak. Pertama, konsumen harus pandai dalam memilah.
“Pintar melihat proyek ini bakal untung nggak, sukses proyeknya. Kalau misalnya ada keraguan karena misalnya proyek terlalu gede, terlalu jauh lokasinya, demand di sana tidak meyakinkan. Biarpun pengembang sudah go publik, lebih baik jangan beli deh,” ucap Panangian.
Selanjutnya, konsumen juga harus mengecek reputasi dari pengembang tersebut. Lakukan riset menyangkut history pengembang, track record-nya, serta pastikan pengembang tidak pernah sekali pun melakukan penipuan pada konsumen.
“Konsumen harus mencerdaskan diri sendiri. Salah satunya juga dengan lebih baik membeli rumah sudah jadi. Tapi kalau nggak punya uang, bisa mencari kawasan yang sudah matang atau sudah banyak pengembang di sana,” ungkapnya.
Di lain pihak, Bambang Ekajaya selaku Wakil Ketua Real Estate Indonesia (REI) menyampaikan, ada 3 aspek penting yang wajib diperhatikan sebelum membeli properti. Pertama, aspek legalitas.
“Sebagai calon pembeli berhak dan harus mengecek status properti yang diminati, sertifikat kepemilikan lahan yang akan dijual, perizinan pembangunan properti tersebut, serta jika masih ragu bisa cek status PT perusahaan tersebut,” ungkapnya, ketika dihubungi terpisah.
Selanjutnya adalah reputasi pengembang/developer. Menurutnya, penting untuk mengecek proyek apa saja yang pernah digarap pengembang dan bagaimana hasilnya. Jika si pengembang baru pertama kali membangun, Bambang menyarankan agar konsumen cek lebih teliti terutama status lahan tempat proyek tersebut dikerjakan
Kemudian yang terakhir, jangan terlalu percaya dengan promo yang diobral pihak pengembang. Apalagi, kalau promo tersebut terlalu berlebihan dan hampir tak masuk akal.
“Seperti discount yang terlalu besar, hadiah yang berlebihan, atau yang bisa membuat kita jadi kaki tangan seperti konsep multi level marketing dengan iming-iming insentif besar untuk cari calon pembeli lain misalnya. Jadi intinya property adalah barang real, jadi semua harus jelas, tidak boleh tergiur harga terlalu murah dan lain-lain yang bisa menjebak kita membeli properti bodong,” paparnya.
Sedikit berbeda dengan pengamat dan ahli properti lainnya, Steve Sudijanto. Ia mengusulkan agar pembeli sebaiknya membeli hunian yang pengerjaan konstruksinya sudah mencapai 80% demi terhindar dari pengembang yang tak bertanggung jawab.
“Saya mengusulkan membeli apartemen atau hunian yang sudah sudah 80% selesai konstruksinya, dan mencari Bank untuk memberikan KPR atau KPA agar pihak Bank dapat membantu proses due diligence sebelum PPJB dan AJB,” ungkapnya ketika dihubungi terpisah.
Selain itu, menurutnya penting untuk konsumen mencari lokasi properti yang bisa dijual cepat atau disewakan. Pasalnya, ketika pembeli membutuhkan dana, maka properti tersebut bisa menjadi sumber dana alternatif di kemudian hari.
Disadur dari detik.com