Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (DJPI) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) lagi menggodok skema kredit pemilikan rumah (KPR) dengan jangka waktu sampai 35 tahun.
Herry Trisaputra Zuna selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan bilang, kajian soal skema tenor panjang dan suku bunga flat ini bertujuan buat mengefisienkan skema KPR saat ini.
“Flat 35 ini sedang kita kaji. Kaitannya bagaimana membuat KPR yang efisien, jadi semakin sedikit uang [yang dikeluarkan] pemerintah tapi jumlahnya [penyalurannya] besar,” terangnya ketika ditemui di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, dikutip Jumat (29/12/2023).
Pada momen itu, Herry juga bilang kalau skema bunga flat 35 tahun diadopsi dari skema pemberian KPR di matahari terbit, Jepang.
Meski begitu, kepastian jangka tenor 35 tahun sampai detik ini masih terus diperbincangkan. Herry pun mengaku pemerintah udah melakukan koordinasi lanjutan dengan bank-bank penyalur. Menurut blio, nantinya tanggungan bunga yang dibebankan ke kreditur bakal sama besarannya sepanjang 35 tahun.
“Kita sudah ada skemanya, kita harapkan tahun 2024 sudah ada pilot [project], lalu nanti akan kami usulkan ke Kementerian Keuangan. Kalau itu sudah, flat 35 sebetulnya sudah terbentuk tuh, tinggal kita buat tenornya,” terangnya.
Program flat 35 ini, lanjut Herry, menjadi salah satu modifikasi dari penyaluran rumah subsidi lewat skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).
“Jadi dengan produk baru ini sudah fix, tinggal tenornya saja mau 35 atau 30 [tahun]? Kalau hari ini exercise kita di 30 tahun, tapi sebetulnya dibikin 35 juga tidak apa-apa, toh akan dievaluasi berdasarkan penerima manfaat,” papar Herry.
Beberapa formula program di sektor perumahan itu dilakukan seiring dengan komitmen pemerintah dalam menekan angka backlog atau ketimpangan pemilikan rumah yang berdasarkan data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 tercatat tembus 12,71 juta rumah tangga.
Untuk backlog kepenghunian tercatat sebesar 6,98 juta rumah tangga. Lalu, rumah tangga yang menempati rumah tak layak huni tercatat sebanyak 29,56 juta.
Karena itulah, Herry menegaskan, ke depan para pemangku kepentingan diharapkan bisa berkontribusi dan berkomitmen lebih pada kualitas bangunan dan lingkungan yang sehat. Apalagi, pada 2045 nanti pemerintah juga udah masang target zero backlog.
Dalam merealisasikan hal itu, Herry bilang masih dibutuhkan suplai rumah layak huni sekitar 1,5 juta rumah per tahun.
“Kalau 2045 harus zero, program harus ditingkatkan. Jadi, berapa programnya untuk membuat dia 0 backlog, kalau hari ini 220.000, BSPS ada 150.000, tapi BSPS untuk yang tidak layak huni, bukan bangunan. Jadi kalau 220.000, ke 2045 masih harus ditambahkan, jadi kalau mau itu (zero backlog) sekitar 1,5 juta (rumah) per tahun,” tandasnya.
Disadur dari bisnis.com