Pernah gak Kamu denger istilah bubble properti atau housing properti? Buat Kamu yang hidupnya gak jauh-jauh dari dunia properti pasti gak asing dong dengan istilah ini.
Nah, bubble properti merujuk pada peningkatan harga properti yang dipicu sama berbagai hal, seperti permintaan, spekulasi, dan lain sebagainya.
Biar Kamu lebih paham lagi soal penyebab dari bubble properti ini, simak ulasan artikel berikut ini. Cekidot skuy!
Penyebab Bubble Properti
Umumnya pasar perumahan gak terlalu rentang soal bubble seperti di pasar keuangan lainnya soalnya punya jumlah transaksi yang besar dan biaya-biaya yang terkait dengan kepemilikan rumah.
Tapi, kenaikan pesat dalam pasokan kredit yang berujung pada kombinasi suku bunga yang sangat rendah dan pelonggaran standar penjaminan kredit bisa menarik peminjam ke pasar perumahan. Otomatis ini bisa memicu permintaan.
Lalu, muncullah kenaikan suku bunga dan pengetatan standar kredit yang bisa bikin permintaan jadi berkurang, sehingga bubble atau ‘gelembung’ properti itu pun akhirnya pecah.
Contoh Bubble Properti
Kita ambil contoh nih, Amerika Serikat dulu sempat ngalamin bubble properti yang harga rumahnya jadi turun drastis. Pada mulanya, di awal tahun 2000-an terjadi bubble di sektor teknologi. Tingginya harga saham teknologi bikin investor beralih ke perumahan.
Adanya dorongan pemerintah soal kepemilikan rumah secara luas bikin bank nurunin suku bunga dan persyaratan pinjaman. Dan hal ini mendorong kegilaan pembelian rumah yang memicu harga rata-rata penjualan rumah naik 55% pada tahun 2000-2007.
Ini mendorong spekulan yang mulai menjual rumah buat dapet cuan puluhan ribu dolar cuma dalam kurun waktu 2 minggu saja. Oh ya, spekulan itu adalah orang yang beli properti buat ngedapetin cuan dalam waktu singkat.
Setelah beli properti, spekulan ini bakal segera menjual propertinya dengan harga yang meningkat, sehingga dia bisa dapet cuan dalam waktu singkat.
Di waktu yang bersamaan pasar saham mulai pulih dan suku bunga mulai meningkat di 2006. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan suku bunga yang bisa disesuaikan disetel ulang ke tingkat yang lebih tinggi pada tahun 2007 seiring dengan datangnya tanda-tanda perlambatan ekonomi.
Tingginya harga rumah bikin premi risiko terlalu tinggi buat para investor, jadi mereka pun berhenti membeli rumah. Harga rumah pun mulai anjlok ketika pembeli rumah mulai menyadari kalau nilai rumah bisa turun. Hal ini mendorong aksi jual besar-besaran pada sekuritas berbasis hipotek. Harga rumah pun turun sebesar 19% dari 2007 hingga 2009.
Disadur dari detik.com