Belum lama ini pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 60/PMK.010/2023 menetapkan bahwa harga jual tertinggi rumah tapak yang diberikan pembebasan PPN kini berkisar antara Rp162 – 234 juta untuk 2023.
Keputusan ini tentu disambut baik oleh para pengembang properti. Meski begitu, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyinggung soal syarat dalam aturan rumah subsidi bahwa masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus menunggu 2 tahun.
Daniel Djumali selaku Sekretaris Jenderal Apersi menyebutkan, kenaikan harga jual dari semula berkisar antara Rp150,5 – 219 juta telah sesuai dengan perhitungan Apersi yang disesuaikan dengan inflasi harga material hingga kenaikan harga BBM.
Namun, ada sejumlah catatan dalam beleid tersebut yang sedang dibahas. Beberapa di antaranya terkait dengan syarat pembelian rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Kami sedang membahas hal ini, karena adanya tambahan ketentuan baru dalam PMK 60,” ungkap Daniel, Selasa (20/6/2023).
Daniel mengaku pihaknya mempertanyakan syarat yang tertuang pada Pasal 2 ayat 13 A dan 13 B. Dalam pasal tersebut termaktub bahwa MBR harus sudah menyampaikan 2 kali laporan SPT Pajak Penghasilan.
“Yang berarti MBR baru bisa memperoleh rumah setelah menunggu dua tahun kemudian,” ungkapnya.
Kemudian, pada pasal 4 ayat 3 dan 4 disebutkan bahwa MBR baru bisa memperoleh pembebasan PPN usai terdaftar sebagai penerima manfaat program kepemilikan rumah dari pemerintah.
Menurut Dainel, dengan NPWP saja sudah cukup bagi MBR untuk membeli rumah subsidi melalui kredit atau pembiayaan melalui program kepemilikan rumah umum. Sebab, dia menilai kebijakan ini pun sudah merupakan program khusus perluasan basis pajak bagi MBR.
“Kasihan MBR yang betul-betul sangat membutuhkan Rumah Subsidi bagi diri sendiri dan keluarganya, harus menunggu lebih lama lagi dan bisa mengganggu Program Sejuta Rumah Pemerintah, maupun backlog perumahan khususnya bagi MBR,” terangnya.
Sementara itu, Junaidi Abdillah selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Apersi menyebutkan, besaran kenaikan 7,6% di tahun ini dan 1,2% di tahun 2024 merupakan hitung-hitungan pemerintah dengan melihat kondisi kebutuhan di sektor properti.
Dengan begitu, penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi bisa tetap berjalan. Menurutnya, hal ini menjadi katalis bagi para pengembang untuk segera menggarap rumah subsidi.
Disadur dari bisnis.com